K.H. Sahal Mahfudh, Begawan Fikih Sosial dari Pati
Lahir dari Keluarga Ulama
Sahal Mahfudh dilahirkan pada 17 Desember 1937 di desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Beliau merupakan Anak ketiga dari enam bersaudara yang tumbuh besar di pusaran keluarga pesantren yang selama beberapa generasi memiliki tradisi "melahirkan" ulama. Kiai Sahal adalah putra K.H. Mahfud Salam, adik sepupu salah satu pendiri NU K.H. M. Bisri Syansuri.
Lahir di lingkungan santri membuat Sahal kecil terbiasa dengan didikan ala pesantren yang mengedepankan disiplin penguasaan ilmu-ilmu agama. KH. Sahal Mahfudz dididik oleh ayahnya yaitu KH. Mahfudz dan memiliki jalur nasab dengan Syekh Ahmad Mutamakkin, namun KH. Sahal Mahfudz sangat dipengaruhi oleh kekyainan pamannya sendiri, K.H. Abdullah Salam. Syekh Ahmad Mutamakkin sendiri termasuk salah seorang pejuang Islam yang gigih, seorang ahli hukum Islam (faqih) yang disegani, seorang guru besar agama dan lebih dari itu oleh pengikutnya dianggap sebagai salah seorang waliyullah
Setelah belajar di bawah asuhan kedua orang tuanya, Sahal muda beringsut ngangsu kawruh pada Kiai Muhajir di Pesantren Bendo, Kediri. Ia kemudian hijrah ke Sarang, Rembang, ngaji di bawah asuhan Kiai Zubair.
Setelah menuntaskan dahaga keilmuannya di Sarang, Sahal melanjutkan petualangan intelektual ke Saudi Arabia. Di sana, ia bertemu langsung dengan Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadani, ulama kharismatik yang menjadi guru bagi banyak kiai dari Indonesia.
Tidak seperti ulama-ulama pesantren yang kebanyakan berdakwah melalui ceramah dan pengajian, Kiai Sahal adalah sosok yang memilih tulisan sebagai wahana untuk menguarkan gagasan sekaligus sebagai media perjuangan. Ia memilih "jalan sunyi".
Puluhan karya dihasilkan dari pemikiran dan permenungannya. Untuk menyebut beberapa saja, antara lain: Thar?q?tul Ushûl il? Gh?yatil Ushûl, Al-Bay?nul Mulamma an Alfadzil Lumudz, Tsam?ratul H?jiniyyah, Luma’aul Hikmah, Far?idul Ajibah, Ensiklpoedi Ijmak, Nuansa Fikih Sosial, dan Pesantren Mencari Makna.
Pada sebuah kolomnya berhulu “Kiai Pencari Mutiara” yang termuat dalam Melawan Melalui Lelucon (2007), Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa Kiai Sahal adalah sosok yang jago dalam bidang fikih sejak usia muda. Kiai Sahal kerap—kalau tidak dikatakan selalu—menjadi rujukan tempat bertanya yang acap kali menjelma sosok pemecah kebuntuan dalam forum-forum pembahasan masalah fikih (bahtsul masail) di lingkungan NU dan pesantren (hlm. 86)
Memperjuangkan Fikih yang Kontekstual
Yang menarik dari sosok Kiai Sahal—selain keluasan bacaannya yang menembus sekat-sekat disiplin keilmuan—adalah kegigihannya dalam memperjuangakan gagasan fikih sosial. Kiai Sahal bertungkus lumus memperjuangkan bagaimana fikih bukan semata didudukkan sebagai "kebenaran ortodoksi", namun dijadikan sebagai wahana "pemaknaan sosial".
Dalam pandangan Kiai Sahal, fikih sebagai kebenaran ortodoksi berujung pada pola "mendudukkan realitas kepada kebenaran fikih". Sebaliknya, fikih sebagai pemaknaan sosial berarti menjadikan fikih sebagai wacana pembanding dan penyanding dalam bingkai kehidupan sosial kemasyarakatan.
Maka jelas, fikih tidak hanya memiliki corak hitam-putih. Di tangan Kiai Sahal, fikih menjadi lebih berwarna. Ia bukan saja memberikan jawaban yang tidak hitam-putih, tapi sekaligus selalu berupaya mencari solusi bagi problematika kemasyarakatan secara luas.
Kiai Sahal juga memelopori paradigma bermazhab yang terhitung baru di kalangan pesantren. Jika selama ini umat Islam, utamanya warga NU, kukuh bermazhab secara qauli (ucapan) dengan cara mengambil kaul para ulama terdahulu, maka Kiai Sahal menawarkan gagasan bermazhab secara manhaji atau metodologis. Tentu saja piranti yang digunakan adalah segenap ilmu yang berkaitan dengan fikih seperti ilmu ushul fiqh dan qawaid fiqhiyyah.
Paradigma bermazhab yang demikian ini berangkat dari pandangan progresif Kiai Sahal dalam menelaah fenomena sosial. Pada sebuah tulisannya yang terkumpul dalam Nuansa Fikih Sosial (2004), Kiai Sahal menyatakan, “[...] pembacaan terhadap realitas sosial akan menghantarkan pada satu kesimpulan bahwa pengembangan fiqh merupakan suatu keniscayaan. Teks al-Qur’an maupun Hadis sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya. Banyak permasalahan sosial budaya, politik, ekonomi dan lainnya yang muncul belakangan perlu segera mendapatkan legalitas fiqh" (hlm. 78).
Cara pandang yang sedemikian luwes itu menjadikan Kiai Sahal dikenal sebagai ulama yang memiliki pemikiran jeli dan titis. Ia juga tidak pernah kaku dalam menyikapi fenomena sosial yang kontroversial.
Dalam menyikapi praktik lokalisasi prostitusi, misalnya, Kiai Sahal berprinsip bahwa persoalan tersebut sesungguhnya adalah persoalan sosial, bukan persoalan agama saja. Sebagai sebuah persoalan sosial yang sangat kompleks, maka ia tak mudah untuk dihilangkan, apalagi dengan menggunakan pendekatan dakwah fikih yang cenderung hitam-putih.
Kiai Sahal menawarkan pendekatan kaidah fikih yang berbunyi idz? ta?radh? mafsadat?ni ru’iya a’dhamuh? dh?rran birtik?bi akhaffihim?. Artinya kurang lebih: dalam kondisi menghadapi dua persoalan yang sama-sama mengandung unsur mafsadah, maka jalan terbaik adalah memilih yang unsur mafsadahnya lebih ringan.
Dalam konteks lokalisasi dan prostitusi, kita dihadapkan pada dua pilihan mafsadah, yakni membiarkan prostitusi dengan segala rangkaian kejahatannya di tengah masyarakat atau melokalisasinya sehingga mudah untuk melakukan kontrol dan menentukan kebijakan.
Dengan paradigma fikih sosial sesungguhnya pilihan melokalisasi adalah hal yang bisa ditoleransi. Sebab dampak serta mafsadah yang dikandung dalam lokalisasi prostitusi lebih kecil dibandingkan jika kita membiarkannya begitu saja.
Perhatian Kiai Sahal dalam mengupayakan gagasan fikih sosial dalam bingkai gerakan kemasyarakatan ditempuh dengan, salah satunya, bergabung dalam proyek pengembangan masyarakat oleh LP3ES. Kiai Sahal juga pernah menjadi anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) pada periode 1993-2003.
Di Nahdlatul Ulama, Kiai Sahal pernah mengemban amanat sebagai Rais Aam Syuriah 1999-2014. Ia juga merupakan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia 2000-2010. Atas kegigihannya dalam memperjuangkan gagasan fikih sosial dan komitmennya dalam mengupayakan pemberdayaan masyarakat melalui fikih, Kiai Sahal diganjar gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2003.
Kiai Sahal Mahfudh meninggal dunia pada 24 Januari 2014, tepat hari ini empat tahun lampau. Begawan fikih sosial itu bukan saja meninggalkan keteladanan dan kisah kebijaksanaan, tapi juga warisan keilmuan yang begitu mendalam.
Sumber:
Fariz Alniezar, K.H. Sahal Mahfudh, Begawan Fikih Sosial dari Kajen, 24 Januari 2014: Tirto.id
Ansor, Biografi Dr. (HC). KH. MA Sahal Mahfudz, 24 januari 2018: ansorjepara.or.id
https://id.wikipedia.org/wiki/Sahal_Mahfudh