Dokter Moewardi - Dokter Pejuang dari Pati

Jumat, 06 Nov 2020 | 11:43:01 WIB


Dokter Moewardi - Dokter Pejuang dari Pati

“Siapa yang dapat menghargai dan berterima kasih kepada pihak yang berjasa akan mampu pula berbuat jasa kepada pihak lain, tetapi siapa yang tidak dapat menghargai dan berterima kasih kepada pihak yang berjasa, tidak akan mempunyai cukup kekuatan batin untuk berbuat jasa apapun kepada pihak lain, dan orang yang demikian ini akan menjadi benalu masyarakat, yang kalau sudah dipotong akan dicampakkan, hanya akan menjadi sampah yang tidak berguna”

- Dokter Moewardi -

 

 

Dokter Moewardi

Dokter Pejuang dari Pati

 

Dokter “Gembel” dari Pati

Moewardi dilahirkan di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, Rebo Pahing 30 Januari 1907 jam 10.15 malam 15 Besar tahun Jawa 1836. Sebagai putera ke-7 dari Mas Sastrowardojo dan Roepeni, seorang mantri guru seorang mantri guru di Sekolah Dasar Bumi Putera di Desa Jakenan, Pati. Sebuah kedudukan yang sangat berwibawa pada zaman itu. Moewardi adalah ber-13 saudara, laki-laki dan perempuan. Dari keturunan Sastrowardojo yang hidup ada yang menjadi pegawai Pamong Praja, ada juga tetap menjadi wiraswasta saja. Diantaranya menjadi seorang analis kesehatan yaitu Supardi, Pemimpin Laboratorium Kesehatan Daerah Jogjakarta sekitar tahun 1940-1950 yang merupakan kakak dari Moewardi. Analis kesehatan yang lainnya adalah adik Moewardi yaitu Darsono.

Menurut silsilah, dari pihak ayah Moewardi masih keturunan langsung dari Raden Sunan Landoh atau Syeh Jangkung sedangkan dari pihak Ibu Moewardi masih keturunan Ario Damar (Bupati Palembang). Namun dari ke tiga belas bersaudara ini ada tiga yang meninggal saat masih kecil yaitu: Soenardi, Tarnadi dan Soedewi. Karena sebab itulah Moewardi lebih sering bermain dan dengan kedua kakaknya yaitu Soepadi dan Soenarto (Kepala DPU Jateng era 1970-an) seperti pada umumnya kakak beradik mereka bertiga ini sering sekali berbuat kenakalan dan berantem di antara mereka sendiri. Moewardi sangat beruntung lahir dari golongan ningrat sehingga tak heran, Moewardi dan kakak adiknya dapat menikmati berbagai fasilitas yang tidak semua masyarakat Indonesia pada saat itu (bahkan hingga saat ini), salah satunya adalah pendidikan yang layak dan bermutu.

Pada tahun 1913 Bapak Sastrowardojo pindah ke Desa Jakenan untuk mengajar di Sekolah Rakyat Bumi Putera, karena kepintarannya Moewardi dipindahkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Kudus yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sebagai seorang pendidik, Sastrowardojo ingin agar putra-putrinya menjadi orang yang lebih pandai dan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada dirinya. Melihat kepandaian Moewardi dan rasa sayang jika anaknya sekolah terlalu jauh dari rumah Sastrowardojo memindahkan Moewardi ke Europesche Lagere School (ELS) di Pati.

Di ujung pendidikannya, Moewardi mampu melanjutkan belajar hingga STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandshe Aartsen), sebuah sekolah kedokteran yang kini berubah menjadi Universitas Indonesia.

Dalam proses memasuki STOVIA, sebagai anak pribumi, perlu ada surat rekomendasi agar memudahkan Moewardi dalam proses pendaftaran. Ayahnya, Sastrowardojo meminta dokter Umar dari Cilacap (salah satu paman dari Moewardi) agar memberikan rekomendasi masuk ke STOVIA. Berbeda dari kawan sebayanya yang kebanyakan masuk ke STOVIA, Moewardi mampu meraih beasiswa karena prestasinya yang telah dibangun sejak sekolah dasar.

Masa belajar Moewardi yang beranekaragam juga didukung dengan latar belakang orang tuanya yang merupakan mantri guru, jabatan bergengsi kala itu.

Aktivitas Moewardi yang beraneka ragam membuatnya harus menempuh masa studi sekitar 12 tahun, dan baru bisa mendapat ijazah dokternya dan lulus 1 Desember 1933. Kecerdasan Moewardi masih diingat oleh para gurunya di STOVIA. Seorang gurunya bahkan menawarkan jabatan sebagai Beroeps-Assistant atau Asisten Proffesor pada Geneeskundige Hoge School (Sekolah Tinggi Kedokteran bagian Hidung, Kerongkongan dan Telinga).

Moewardi menjadi asisten dari Dr. Hendarmin hingga saat ia meninggalkan kota Jakarta. Moewardi akhirnya mendapat brevet yang mengakui keahliannya. Selama lima tahun Moewardi bekerja sebagai dokter swasta. Moewardi pernah tinggal di Kebonsirih, di mana istrinya yang pertama (Soeprapti) meninggal dunia. Dengan meninggalkan seorang puteri (Sri Sejati) dan seorang putera (Adi) yang masih bayi. Moewardi juga pernah berdiam di Tanahabang, dekat jalan Kebayoran atau Palmerah.

Banteng Witjaksono, anak Moewardi, mengatakan, bahwa sang ayah sudah memulai aktifitas sosialnya sejak mahasiswa. Moewardi sudah mulai dikenal oleh berbagai kalangan masyarakat meskipun gelar dokter belum disandang olehnya. Maka tak heran Moewardi kecil sering dijuluki dengan anak Guru dari Jakenan, karena besarnya wibawa dari nama kedua orang tuanya.

 

Si Anak Pandu

Moewardi kecil dengan segala keberuntungan yang dia terima dalam bidang pendidikan, tidak membuatnya sombong di hadapan kawan-kawannya. Bahkan, meskipun ia menyandang status ningrat. Hal ini terlihat dari aktivitasnya yang aktif di bidang kepanduan yang telah dirintis sejak di jenjang kelas lima ELS di Kota Pati. Di kelas lima tersebut, dirinya memulai sebagai anggota kepanduan Spoorzoeker (pencari jejak).

Setiap kalender menunjuk tanggal 13 September, itu adalah tanggal yang patut dikenang oleh seluruh masyarakat Indonesia, sebab pada tanggal 13 September 1930 oleh prakarsa seorang pemuda Moewardi lahirlah kepanduan baru di Jakarta, sebagai penjelmaan dari bersatunya tiga organisasi kepanduan di Indonesia yaitu Pandu Kebangsaan, Pandu Pemuda Sumatra dan Indonesische Nationaal Padvinders Organisatie. Organisai kepanduan yang menjadi cikal bakal Pramuka itu bernama: Kepanduan Bangsa Indonesia.

Di antara kisah kepanduan yang dialami oleh Moewardi ada hal pelik yang harus dialaminya yaitu ketika saat akan diangkat sebagai Troep Leider, Moewardi memilih untuk menolak dan keluar. Saat itu Moewardi masih menjadi anggota aktif dari Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) dan mencapai jenjang Assistant Troep Leider, wakil pimpinan pasukan yang sangat jarang dicapai oleh anak anak bumiputera. Meskipun di organisasi kepanduan Belanda dia gagal, namun karir kepanduannya di nasional atau pemuda Hindia Belanda terus berlanjut hingga mencapai tingkat Jong Java Padvinderij yang kemudian berubah menjadi Pandu Kebangsaan (PK) dan berubah kembali menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Tidak hanya sekedar duduk menjadi anggota, pada ketiga organisasi tersebut Moewardi selalu dipercaya sebagai Komisaris Besar ataupun pemimpin tertinggi. Menurut Wakil Ketua Kwartir Nasional Bidang Kehumasan dan Informatika, Berthold D H Sinaulan, bahwa jabatan yang diemban Moewardi sudah setara dengan ketua kwartir nasional apabila dibandingkan pada saat ini. Maka tidak heran kiprahnya sebagai anggota pandu membuatnya diajukan untuk menjadi Bapak Pandu Indonesia, mendampingi Sri Sultan Hamangkubuwono IX yang menjadi Bapak Pramuka Indonesia.

 

Dokter “Gembel” Yang Membantu Proklamasi

Moewardi, si anak mantri guru dari Jakenan, Pati berhasil menamatkan pendidikannya di STOVIA, sekolah kedoteran yang kini menjadi Universitas Indonesia. Walaupun terlahir sebagai anak ningrat, disiplin, kedermawanan serta kesederhanaan tetap melekat pada sosok Moewardi. Hal ini terlihat ketika tanggal 2 Desember 1934, setahun pasca lulus dari STOVIA, dirinya menggelar tasyakuran "kenduri modern". Tidak hanya sekedar berbagi makanan namun juga berbagi jasa dengan membuka praktek pengobatan gratis dari pukul 06.00 hingga 24.00. Dilansir website Universitas Indonesia (ui.ac.id), pendidikan kedokteran Moerwadi tidak hanya berhenti pada STOVIA saja, namun terus berlanjut hingga melanjutkan sekolah ke Geneeskundig Hooge School (GHS), Salemba yang lulus pada tahun 1939 untuk mendapat gelar dokter atau Indische Arts. Di GHS tersebut, Moewardi mengambil gelar dokter spesialis THK (Telinga, Hidung, Kerongkongan). Kedermawanannya sebagai dokter terbukti dengan julukan yang melekat pada dirinya yaitu 'dokter gembel'. Ternyata julukan itu bukan karena rupa Moewardi yang bak gembel, tapi karena kedekatannya dengan masyarakat akar rumput yang masih minim akses terhadap kesehatan. Selain itu, dia tidak mau menetapkan tarif, tak juga sepeser pun.

Alkisah pada tahun 1930 di daerah Tanah abang Jakarta ada seorang lelaki bernama Moewardi, yang terkenal sebagai Dokter Moewardi atau biasa disebut Dokter Gembel. Karena dokter itu senang bergaul dengan gembel daripada golongan atas. Golongan masyarakat yang kebanyakan sangat miskin sekaligus orang-orang yang sangat membutuhkan pertolongan. Pernah karena diminta pertolongan untuk mengobati seorang gembel yang tinggal jauh dalam kampung dengan gang becek dan berlumpur yang hanya kering saat hujan reda.Meskipun hanya gembel, namun gembel tersebut adalah orang yang mempunyai rasa perikemanusiaan yang luhur. Dia memandangi pakaian Moewardi yang masih bersih tak bernoda sedikit pun, “baru ganti itu !”, pikirnya. Sayang kalau ia harus jalan di lumpur. Air kotor dan lumpurnya tentu akan segera melekat pada sepatu dan celananya. “Tidak !, jangan ! Pak dokter harus tetap bersih, agar dapat segera mengunjungi orang sakit lainnya,” Akhirnya mau tidak mau, Moewardi digendong oleh si gembel. Sehingga Moewardi digendong di punggung si gembel dari jalan besar hingga ke rumah si sakit Demikian pula pulangnya kembali ke mobil. Begitulah kecintaan rakyat gembel kepadanya

Kiprah Moewardi tidak berhenti di kedokteran dan kepanduan saja, ia juga aktif dalam usaha melawan penjajahan di Indonesia. Ketika Jepang datang menggantikan Belanda untuk menjajah Indonesia, Ia menjadi Syuurenotaicho. Ini adalah jabatan yang bertugas memimpin Barisan Pelopor Kota Istimewa Jakarta atau Jakarta Tokubetsu Shi wakilnya adalah Wilopo, S.H. Barisan Pelopor sebenarnya bentukan Jepang, namun oleh para pemuda digunakan sebagai gerakan memerdekakan Indonesia. Pemimpin umum Barisan Pelopor adalah Bung Karno, sedang Sudiro sebagai Pelaksana Pimpinan Pimpinan Harian dengan dibantu oleh para anggota pengurus, seperti Chaerul Saleh, Agus Karma, Asmara Hadi, Mashud, Sukarjo Wirjopranoto, dan Otto Iskandardinata. Pada tiap-tiap karisidenan ada Barisan Pelopor yang dipimpin oleh seorang Syuurenotaicho (Komandan Barisan Pelopor Karesidenan). Selama di Barisan Pelopor, Moewardi sempat menjadi buronan tentara Jepang karena perlawanan yang dilakukan. Moewardi ditunjuk menjadi pemimpin Barisan Pelopor untuk seluruh Jawa dan bertugas mengamankan para pemimpin serta lokasi pembacaan teks proklamasi dari ancaman kerusuhan. Selain itu, setelah pembacaan teks proklamasi, Moewardi juga membentuk Barisan Pelopor Istimewa untuk mengawal Presiden Soekarno.

 

Bersama para pemuda lainnya, Moewardi pun tak ingin ketinggalam untuk berjuang dalam meraih kemerdekaan, bahkan dirinya rela melepas profesi dokter untuk fokus ke dalam perjuangan. Bersamanya ada Chudanco Latif Hendraningrat, salah seorang pemimpin PETA, yang ikut mengawal proses proklamasi dari penulisan naskah hingga menuju pembacaan.

 

Dibentak oleh Bung Karno

Dalam satu kesempatan, Moewardi sempat berdebat dengan Ir Soekarno. Dilansir Majalah Veteran, sempat terjadi perdebatan antara Moewardi dengan Sukarno dalam proses pembacaan teks proklamasi. Moewardi yang tidak sabaran menunggu masuk ke kamar Bung Karno dan mendesak Bung Karno agar segera mengumumkan Proklamasi sendiri saja tanpa menunggu kedatangan Bung Hatta. Alasannya karena Bung Hatta sudah menandatangani teks Proklamasi. Pada mulanya Bung Karno menjawab dengan tenang saja, tetapi karena Moewardi mendesak dengan nada marah Bung Karno menjawab: “Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada, kalau Mas Moewardi tidak mau tunggu silahkan baca Proklamasi sendiri”. Dialog kedua tokoh ini disaksikan oleh Sudiro dan sesudah itu Moewardi tidak mendesak Bung Karno lagi. Sebetulnya Moewardi melakukan itu karena Sudiro melihat di sekitar jalan Pegangsaan terlihat seorang Jepang yang sedang bercakap-cakap dengan Sukardjo Wirjopranoto. Keduanya sebenarnya khawatir kalau Proklamasi belum dibacakan sudah di serbu Jepang, sehingga akhirnya Proklamasi gagal. Setelah teks proklamasi dibacakan, Moewardi jadi pria terpilih untuk memberi sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu.

 

Akhir Kisah Sang “Dokter Gembel”

Karena kesibukan di dalam awal mendirikan Republik Indonesia, Moewardi sempat melepas status sementara sebagai dokter. Dalam usahanya melawan aksi anti Pemerintah yang dijalankan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang merupakan anak organisasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Moewardi mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada tahun 1948. Akhirnya, setelah pemindahan ibukota dari Jogjakarta ke Jakarta, peran Moewardi di pemerintahan berkurang, hingga ia pilih menetap di Solo. Di Solo, Moewardi kembali menjalankan profesi kedokterannya yang sempat ditanggalkan. Praktik dengan segala macam pasien juga dia layani hingga tiba pada 13 September 1948. Ketika itu Mayor Hendroprijoko mencegah Moewardi untuk berpraktek mengingat kondisi negara sedang gawat. Diceritakan dalam buku 'PKI Bergerak', karya Harry A. Poeze, Moewardi yang masih menjabat sebagai pimpinan Barisan Banteng Republik Indonesia (sebelumnya bernama Barisan Pelopor) mengabarkan sebuah dokumen kepada Sukarno dan Hatta. Isinya, mengenai kemungkinan terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Pesindo yang berhaluan komunis. Alih-alih nurut perintah Mayor Hendroprijoko, Moewardi tetap kukuh menjalankan operasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Ia berkata : "Saya pemimpin dan saya juga dokter yang terikat dengan sumpah dokter. Percayalah saya tidak akan dibunuh oleh bangsa sendiri, yang mau membunuh saya hanyalah Belanda. Pasien saya harus segera dioperasi," Maka setelah menyampaikan pesan di hadapan anak buahnya, Moewardi tetap berangkat dengan menggunakan andong ke rumah sakit operasi THT di Ziekenzorg (dulu Zending Hospital, kini RSUD Dr. Moewardi, Jebres) untuk melakukan operasi terhadap pasien, seorang anak yang menderita sakit parah. Tak lama kemudian, pada pukul 11.00, terdengar keriuhan dari letusan senjata api. Moewardi diculik dan kantor polisi di dekat rumah sakit habis diserbu. Harry A Poezoe menggambarkan proses penculikan itu sebagai hal yang unik. Penyebabnya, para penculik sempat membiarkan Moewardi untuk menyelesaikan proses operasi yang dilakukan terhadap pasiennya, sebelum dibawa hilang entah kemana. Setelah itu terdengar kabar bahwa seluruh korban penculikan termasuk diantarnya Moewardi habis dibunuh. Pencarian pun dilaksanakan dengan berbagai upaya. Gubernur Militer Solo-Madiun yang dijabat Kolonel Gatot Subroto juga ikut memberikan perhatian serius. Tapi, hingga kini, keberadaan Moewardi masih misterius. Bila meninggal pun, tak ada yang tahu di mana dia dimakamkan. Moewardi hilang meninggalkan tujuh orang anak.

Dua anak dari Suprapti, istri pertama, yaitu Sri Sejati dan Adi. Kemudian lima anak lain dari istri keduanya, Susilowati, yaitu Ataswarin Kamarijah, Kusumarita, Cipto Juwono, Banteng Witjaksono dan Happy Anandarin Wahyuningsih. Salah seorang anak Moewardi, Banteng Witjaksono, menceritakan mengenai kehilangan ayah yang membuat ibu mereka menjadi orang tua tunggal dan harus menghidupi seluruh anak mereka. Dikisahkan dari cicit Moewardi, Lichte Christian Purbono, pencarian Moewardi terus dilakukan hingga puluhan tahun lamanya. Karena tak tahu di mana keberadaannya, para keluarga hanya bisa melakukan kegiatan tabur bunga di patung Moewardi yang berada di Rumah Sakit Moewardi, Solo. Kegiatan ini rutin dilakukan oleh keluarga hingga kini, meski, tak ada satu pun anak cucu Moewardi yang tinggal di Solo. Untuk mengenang sosoknya dan menghargai jasanya secara resmi Moewardi dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui SK Presiden RI No. 190 tahun 1964. Selain diberi gelar pahlawan, nama Moewardi juga disematkan sebagai nama rumah sakit yang di putuskan melalui surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah tanggal 24 Oktober 1988. Pergantian nama pun dilakukan bertepatan pada hari pahlawan 10 November 1988 dari semula RSUD Kelas B Provinsi Dati I menjadi RSUD Dr Moewardi Surakarta. (*)

Koleksi Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Pati 2020, diambil dari berbagai sumber.

Selanjutnya