Sejak didengungkannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945, dua hari sebelumya, maka suatu sikap tegas dan mapan dan sejalan dengan cita-cita dan semangat kemerdekaan masyarakat, seperti yang ditunjukkan oleh Bapak Wongsonegoro (Pimpinan Panitia Persiapan Kemerdekaan Jawa Tengah), segera menjadi panutan untuk seluruh daerah Jawa Tengah termasuk Karesidenan Pati.
Semangat revolusioner di Pati telah mantap menjelang dan setelah diproklamasikannya kemerdekaan. Terlebih-lebih bagi para pelajar SMP Pati (Shoto Chu Gakko atau SMP Rondole). Karena pada awal bulan Agustus 1945 telah terjadi insiden di sekolah, dimana beberapa murid tidak mau mencukur gundul rambutnya yang panjang dan memakai peci pada upacara pengibaran bendera pada pagi hari bahkan ada seorang guru yang disekap.
Namun sejak dikeluarkannya proklamsi mereka berkumpul dengan pemuda-pemuda lain dan perwira-perwira PETA yang sejak beberapa waktu dibebastugaskan dan senjata dikumpulkan oleh pihak Jepang. Keseluruhannya bergabung sebagai Angkatan Muda. Mereka masih menunggu komando siapa yang akan memberikan komando ?
Mereka menyadari bahwa di dalam kata-kata proklamasi tersurat kewajiban untuk menyelenggarakan pemindahan kekuasaan dalam tempo yang sesingkat singkatya. Jepang bersikap mempertahankan status quo. Mereka merasa mempunyai kewajiban untuk menyerahkan kekuasaan pada sekutu dan mereka memperhitungkan bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan rakyat Indonesia tidak mempunyai dukungan kekuatan militer karena 66 batalion PETA telah dapat dilucuti melalui tipu muslihat yang sangat halus. Kekuatan senjata yang ada hanyalah pada kekuatan polisi dan khususnya Polisi Istimewa (Keisatsu Tai) yang sangat dekat dengan kekuatan revolusioner masyarakat.
Orang-orang Jepang masih ke kantor walaupun dengan sikap lesu. Ken Pei Tai sebagai satu-satunya instalasi militer Jepang dikota Pati masih tetap angker dengan penjagaannya dengan sangkur terhunus. Bendera Hinomaru masih berkibat di kantor-kantor dengan megahnya.
Dalam keadaan tak menentu itu tergeraklah hati pelajar-pelajar Shoto Chu Gakko atau SMP Rondole antara lain tokoh-tokoh insiden awal bulan Agustus seperti saudara Soemardjito, Parmanoe, Soeratno, Bambang Soemarsono, Pratomo dan lain-lainnya untuk berbuat sesuatu untuk mengatasi impasse atau keadaan tidak pasti tersebut. Mereka menetapkan untuk menggantikan bendera Hinomaru yang berkibar di Rumah Residen sebagai pusat Pemerintahan Jepang di Karesidenan Pati dengan bendera Sang Saka Merah Putih. Mereka berkonsultasi dengan para pelajar Chu Gakko yang lain dan secara getok tular diminta agar para pelajar putra dan putri kelas I, II dan III secara tidak menyolok bergerak dalam kelompok-kelompok kecil ke halaman kediaman Residen Pati. Para eksponen di atas juga mendapat dukungan siswa-siswa Sekolah Pertanian (Nogyo Gakko) dan Sekolah Pendidikan Guru (Shihan Gakko).
Setelah para pelajar putra putri tiba di halaman kediaman dinas residen, mereka segera membentuk lingkaran di depan tiang bendera yang terletak dihalaman depan gedung tersebut. Dengan cepat mereka menurunkan bendera Hinomaru dan dengan khidmad dikereknya bendera merah putih yang mereka siapkan dengan diiringi oleh lagu Indonesia Raya. Ternyata disamping pelajar tampak hadir beberapa orang guru dan orang tua murid meyaksikan peristiwa sejarah itu.
Hanya dengan intuisi, rasa terpanggil oleh proklamsi kemerdekaan yang menghendaki pemindahan kekuasaan dalam tempo sesingkat-singkatnya, para remaja yang berusia antara 14-18 tahun itu berhasil mengubah legalitas politik di wilayah Karesidenan Pati. Keesokan harinya pada tanggal 4 Oktober 1945, Jabatan-jabatan Pemerintahan Jepang diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. RTA Milono, Wakil Residen mengambil alih kedudukan Suchokan segera dinyatakan sebagai MILIK R.I. Demikian juga Angkutan-angkutan Umum. Menjadi tugas para pelajar SMP Rondole untuk menempeli semua bangunan pemerintahan, alat-alat pengangkutan umum seperti kereta api, bus dan lain sebagainya dengan kertas MILIK R.I.
Jasamihardja, Sutopo.(1988). Pati Syu Dai Ichi Shoto Chu Gakko: Jakarta: Paguyuban Eks Pelajar SMP Rendole
Ilustrasi original: Wahyu Utami, pensil on paper, 30 x 21 cm