Dinas Arpus Pati Membuat Gambar Ilustrasi Peristiwa Monumental 1742 di Pati
Dinas Arpus melalui Bidang Kearsipan membuat gambar ilustrasi peristiwa Penobatan Amangkurat V Raja Mataram di Pati. Untuk merealisasikan ilustrasi ini Dinas Arpus mengajak kerjasama dengan Bapak Drs. Djoko Wahjono, seorang seniman dan pemerhati sejarah Pati dari Yayasan Argakencana. Proses pembuatan ilustrasi ini sudah dimulai November tahun ini. Dinas Arpus merealisasikan peristiwa monumental di Pati ini dikarenakan banyak masyarakat Pati yang tidak mengetahui peristiwa bersejarah ini, sebuah peristiwa kolosal berdarah terlama dan terluas di Jawa melawan penjajah Belanda. Penobatan Amangkurat V di Pati ini menandai sebuah koalisi Jawa dan Tionghoa melawan penjajah Belanda. Sebuah peristiwa yang menandai keragaman suku agama dan ras bersatu melawan penindasan. Dinas Arpus Pati membuat gambar ilustrasi ini dikarenakan tidak ditemukannya dokumentasi foto atau lukisan yang menggambarkan peristiwa penobatan ini. Dari hasil visualisasi peristiwa ini, Dinas Arpus akan memamerkan di Galeri Pati Mbiyen Gedung Juang 45 Pati.
Raden Mas Garendi yang bergelar Sri Susuhunan Amangkurat V atau dikenal juga Sunan Kuning, adalah penguasa terakhir di Kasunanan Kartasura sebelum akhirnya direbut kembali oleh Pakubuwana II atas bantuan VOC, tetapi tak lama Amangkurat V pun tersingkir. Amangkurat V sebagai pemimpin persekutuan Tionghoa-Jawa melawan VOC dalam peristiwa Geger Pacinan dijuluki Sunan Kuning yang berasal dari kata cun ling (bangsawan tertinggi). Lantaran lidah orang Tionghoa susah mengejanya, Sunan Kuning menjadi Soen An Ing.
Nama aslinya Raden Mas Garendi, anak (ada yang menyebutkan cucu) dari Amangkurat III atau Sunan Mas yang melarikan diri dari Keraton Kertasura saat perebutan tahta dengan Pakubuwono I yang bersekongkol dengan VOC. Amangkurat III ditangkap VOC dan diasingkan ke Ceylon (Srilanka) sampai meninggal di negeri itu pada tahun 1734. Raden Mas Garendi kecil dan ibunya Putri Onje dilarikan oleh pamanya Pangeran Teposono menuju Pati dan dititipkan kepada Adipati Pati R. Mertokusuman (Megatsari 1/Bagus Bewak/Pangeran Koming), selanjutnya Raden Mas Garendi diangkat anak oleh Adipati Pati.
Peristiwa Geger Pacinan
Geger Pecinan diawali dengan pembantaian orang-orang Tionghoa oleh VOC di Batavia pada Bulan Oktober 1740. Sejumlah orang Tionghoa yang melarikan diri kemudian bersekutu dengan kekuatan Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka bersumpah setia pada Pakubuwono II.
Perang besar berkobar nyaris di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beberapa kota berhasil direbut oleh pasukan gabungan Jawa-Tionghoa. Sejarawan Universitas Negeri Semarang Prof. Wasino menyebut perang ini adalah perang terbesar yang dialami VOC.
"Perang gabungan Jawa-Tionghoa ini adalah perang terbesar sepanjang sejarah penjajahan VOC di Nusantara," kata Prof. Wasino.
Sunan Kuning Naik Tahta
Pada awal 1742, VOC berhasil menekan beberapa posisi Mataram dan Laskar Tionghoa. Pakubuwono II memutuskan untuk berbalik arah dan mendukung VOC. Dia meminta pengampunan VOC, karena orang-orang Jawa - Tionghoa kalah perang. Niat Pakubuwono II mengubah arah perjuangan ditentang sejumlah Petinggi Keraton, Panglima Perang dan Bupati di bawah Mataram. Mereka tetap setia berjuang bersama Laskar Tionghoa melawan VOC. Sejak saat itu, perang melawan Pakubuwana II dan VOC berkobar makin besar.
Berikut adalah pihak-pihak yang melawan VOC dan Pakubuwono II: Patih Notokusumo (bawahan Pakubuwana II yang memilih mendukung pasukan Jawa – Tionghoa), Bupati Grobogan Martapuro, Bupati Pati Mangunoneng, Singseh (pemimpin laskar Tionghoa dari Tanjung Welahan, dekat Demak), Kapitan Sepanjang atau Siaw Pan Chiang (pemimpin pemberontakan Tionghoa dari Batavia), Raden Mas Said (Mangkunegara I/Pangeran Sambernyawa) dan Pangeran Mangkubumi.
Pihak-pihak yang melawan VOC dan Pakubuwono II mengadakan Rapat di Pati, Jawa Bagian Tengah, 6 April 1742, mereka membahas soal siapa yang harus menggantikan Pakubuwana II. Singseh mengusulkan agar Bupati Grobogan Martapuro saja yang diangkat menjadi Raja Mataram, Kapitan Sepanjang setuju dengan usul Singseh. Namun Bupati Pati Mangunoneng tidak setuju karena Martapuro tidak memiliki wahyu, bobot (kepantasan), dan bibit (asal-usul) untuk menjadi Raja Mataram.
He Tik mengusulkan agar Garendi yang menjadi raja pengganti Pakubuwana II. Pertimbangannya Garendi adalah cucu Raja Mataram Amangkurat III. Kapitan Sepanjang sempat khawatir Garendi bakal berkhianat karena kerabat Keraton biasanya berkhianat, seperti Pakubuwana II yang semula melawan VOC menjadi sahabat VOC. Namun akhirnya, semua bersepakat, Garendi-lah yang menjadi Raja Mataram.
Anak usia 16 tahun itu diberi gelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurrahman Sayidin Panatagama (Panglima Perang, Hamba dari Maha Pengasih Selaku Pemimpin Agama). Dituliskan Daradjadi, dalam upacara itu hadir para ulama di samping kanan Amangkurat V dan panglima berbusana Tionghoa di samping kirinya.
“Seorang Raja yang ingkar janji (Pakubuwana II) tidak bertuah lagi, gebuklah dia pasti akan kabur,” ujar Garendi yang kini menjadi Amangkurat V.
Garendi kemudian dijuluki sebagai Sunan Kuning oleh para pengikutnya. Selain karena banyak pengikutnya yang berkulit kuning (Tionghoa), juga karena orang Tionghoa menyebutnya sebagai ‘cun ling’ atau ‘bangsawan tertinggi’. Sejak saat itu, pertempuran demi pertempuran dilakoni oleh koalisi Jawa-Tionghoa. Mei 1742, komposisi pasukan Jawa-Tionghoa terdiri dari seribu prajurit Jawa dan seribu prajurit Tionghoa. Perkembangan selanjutnya, komposisi pasukan Jawa menjadi lebih banyak ketimbang Tionghoa. Pada Juni 1742, Sunan Kuning dan pasukannya menuju Kartasura. Laskar Tionghoa dipimpin panglimanya bernama Entik, Macan, dan Pibulung. Laskar Jawa di bawah komando Kertawirya, Wirajaya, dan Martapuro. “Sunan yang masih remaja tersebut dikawal oleh Patih Mangunoneng, Kapitan Sepanjang, dan Singseh. Mereka bertempur di Salatiga hingga Boyolali,” tulis Daradjadi.
30 Juni 1742, pasukan Sunan Kuning menjebol Keraton Kartasura, menjebol dalam arti sebenarnya. Jebolan tembok Istana itu bahkan bisa dilihat sampai sekarang. Konon, tembok Istana itu berhasil dilubangi karena pasukan Sunan Kuning menggunakan meriam, orang Tionghoa merupakan ahli dalam urusan mesiu. Suasana Keraton Kartasura mendadak kacau dan luluh lantak karena digeruduk pasukan Jawa-Tionghoa. Pakubuwana II dan keluarganya melarikan diri dari keraton lewat pintu belakang. Mereka semua dievakuasi oleh Kapten Van Hohendorff bersama pasukan VOC. Mereka mengungsi ke arah Magetan via Gunung Lawu. 1 Juli 1742, Sunan Amangkurat V alias Sunan Kuning bertakhta di Kartasura,” demikian tulis Daradjadi.
Ada candrasengkala (kata-kata penanda waktu dalam tradisi Jawa) berbunyi ‘Pandito enem angoyog jagad’. Maknanya, seorang Raja Mataram telah kehilangan keratonnya. Namun bisa juga, diartikan ‘Pempimpin muda mengguncang dunia/jagat’.
Kabinet Sunan Kuning dibentuk. Mangunoneng diangkat menjadi Patih. Martapuro diangkat menjadi pelaksana harian komando pertempuran dengan nama Sujonopuro. Raden Mas Said Suryokusumo alias Pangeran Prangwadana (dikemudian hari dijuluki sebagai Pangeran Samber Nyawa) diangkat sebagai Panglima Perang. Raden Mas Said sudah menerima pelatihan perang dari Kapitan Sepanjang.
Namun kekuasaan Sunan Kuning sebagai Raja Mataram tak berlangsung lama. 26 November 1742, Sunan Kuning harus beranjak dari kursi Raja karena digempur oleh tiga pihak sekaligus: pasukan Pakubuwana II, pasukan VOC, dan pasukan Cakraningrat IV dari Madura.
Dari Ilustrasi ini diharapkan masyarakat Pati mengetahui bahwa di Pati pernah terjadi peristiwa besar yang menjadi semangat heroisme dalam keragaman.(Gun)